468x60 Ads

Kabuki - Teater Khas Kebudayaan Jepang yang Lintas Zaman


Kabuki merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang termasuk jenis seni teater karena memiliki unsur cerita yang dipadukan dengan seni tari dan musik. Dalam pertunjukan kabuki, seluruh peran dimainkan laki-laki, termasuk peran perempuan. Para pemain mengenakan kostum mencolok dan sangat mewah. Make-up-nya terbilang dramatis untuk menonjolkan sifat dan karakter tokoh.
Kabuki berasal dari kata kabusu, kabuki, kabukan, atau kabuki, yang berarti aneh. Seni drama ini diperkenalkan oleh Okuni, seorang pendeta dari daerah Izumo.
Berbicara tentang kebudayaan Jepang, ada banyak hal yang bisa membuat kita semua kagum. Negara-negara di dunia memang diciptakan berbeda, lengkap dengan kebudayaan yang juga berbeda. Jepang unik, begitupun dengan negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Secara garis besar, kebudayaan yang ada di banyak negara memiliki "payung" yang sama. Seperti tarian, musik, pertunjukkan teater, cerita rakyat, mitologi, pakaian khas dan hal-hal lain yang umum. Kebudayaan Jepang pun demikian.
Di antara sekian banyak produk kebudayaan Jepang, sajian menarik berupa pertunjukkan teater menjadi salah satu andalan negara sakura ini. Teater yang dimiliki oleh kebudayaan Jepang ini pada dasarnya hampir sama dengan teater yang ada di Indonesia. Namun, penggunaan berbagai perlengkapan separti kostum, make up dan bahasa saja yang tentu saja berbeda.

Kebudayaan Jepang - Sejarah Kabuki

Okuni sebagai tokoh di balik kebudayaan Jepang yang satu ini merintis pertunjukan kabuki pada 1603. Tidak ada sejarah yang jelas mengenai asal-usul Okuni. Yang dikenal orang hanyalah bahwa Okuni memainkan drama aneh pada masa itu, dengan pakaian mencolok dan iringan lagu populer.
Tidak disangka, ternyata kabuki mendapat respons sangat baik. Kebudayaan Jepang tersebut dengan cepat menjadi populer dan termasuk dalam kesenian avant garde Jepang masa itu, sehingga memunculkan banyak peniru.
Sayangnya, sejarah kabuki dinodai munculnya sekelompok wanita penghibur yang melakukan praktik prostitusi melalui pertunjukan drama onna-kabuki (kabuki yang dimainkan wanita) sehingga keshogunan Tokugawa melarang pementasan onna-kabuki pada 1629 karena dinilai melanggar moral. Kebudayaan Jepang ini pun sempat dilarang.
Pelarangan terhadap kebudayaan Jepang yang satu ini berlanjut pada 1629 untuk yaro-kabuki (kabuki laki-laki) yang rupanya menjadi selubung prostitusi di kalangan gigolo dan pria-pria muda. Sebagai reaksi dari pelarangan tersebut, muncullah drama kabuki yang diperankan laki-laki dewasa seluruhnya, dan menjadi konsep drama kabuki yang dikenal sekarang.
Cerita yang cukup miris ternyata menghiasi sejarah terciptanya kebudayaan Jepang yang satu ini. Hingga akhirnya, seni teater khas Jepang ini bertahan hingga saat ini.

Kebudayaan Jepang - Jenis Kabuki

Di awal perkembangannya, kebudayaan Jepang,  kabuki memiliki dua jenis pementasan; kabuki-odori dan kabuki-geki. Yang membedakan dua jenis kabuki ini adalah adanya unsur cerita dalam kabuki-geki, sedangkan kabuki-odori hanya ditampilkan tarian dan nyanyian.
Keshogunan Edo yang berkuasa saat itu mewajibkan kelompok drama kabuki meniru kyogen, kesenian yang memanggungkan drama. Karena itu, kabuki-odori pelan-pelan menghilang sedangkan kabuki-geki semakin berkembang.
Kebijaksanaan keshogunan Edo rupanya memiliki kaitan dengan upaya menekan kecenderungan kabuki menjadi prostitusi terselubung. Saat itu, kabuki-odori adalah kabuki yang populer dengan praktik kurang baik ini.
Kebijakan tersebut merupakan upaya keshogunan untuk menjaga moral rakyat. Karena itu, kabuki-geki didorong untuk menjadi kesenian yang memiliki kelas dan kehormatan. Salah satunya dengan memasukkan unsur cerita klasik kepahlawanan yang kharismatik. Kabuki semacam ini kemudian dikenal dengan sebutan kabuki-kyogen.

Kebudayaan Jepang - Teknik Teater

Kebudayaan Jepang, Kabuki, yang semula hanya teater rakyat, dikembangkan menjadi kesenian yang berkelas dan bergengsi. Bukan saja tema yang diangkat menjadi lebih kuat, juga fasilitasnya pun diperbaiki. Hal ini karena pementasan lakon tidak memungkinkan menggunakan teknik teater rakyat.
Panggung standar pertunjukan kabuki dibangun bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan Jepang ini. Struktur cerita yang menghendaki pergeseran seting dan waktu, dilakukan dengan teknik teater berupa pergeseran layar. Gedung pertunjukan kabuki juga mulai dilengkapi dengan hanamichi, yakni sebuah ruang khusus di sisi kiri kursi penonton, difungsikan sebagai tempat pemain masuk dan keluar panggung.
Hanamichi membuat kabuki memiliki kedalaman lebih jika dibandingkan dengan sebelumnya. Hanamichi juga merangsang munculnya kreasi teknik teater tiga dimensi. Teknik itu antara lain seri dan chuzuri.
Seri adalah bagian panggung fungsional yang bisa naik dan turun. Panggung ini memungkinkan kemunculan aktor perlahan-lahar dari bagian bawah panggung. Sedangkan chuzuri adalah teknik menggantung aktor dari bagian atas panggung untuk menampilkan adegan melayang atau terbang. Perubahan demi perubahan pun menjadi hal yang biasa dari kebudayaan Jepang yang satu ini.

Kebudayaan Jepang - Cerita Kabuki

Rangka penopang drama kabuki adalah cerita sejarah yang disebut jidaimono. Penulis drama kabuki dari daerah Kamigata menjadi pionir dalam penulisan naskah drama ini. Mereka banyak mengadaptasi cerita Ningyo Jōruri.
Hal ini rupanya memicu kreativitas tersendiri bagi penulis kabuki asal Edo. Beberapa penulis kabuki asal Edo tergerak mengkreasikan drama-drama baru. Mereka ikut andil dalam menjaga kebudayaan Jepang tersebut, misalnya Tsuruya Namboku, penulis kabui yang banyak mengkreasikan cerita kepahlawanan dari zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Begitu juga dengan Kawatake Mokuami yang populer di akhir zaman Edo hingga memasuki zaman Meiji.
Beberapa judul drama kabuki yang terkenal misalnya: Taiheiki no sekai, Heike monogatari no sekai, Sogamono no sekai, dan Sumidagawamono no sekai.

Kebudayaan Jepang - Kabuki Melintasi Zaman

Kebudayaan Jepang, Kabuki lahir di zaman Edo, dan mampu bertahan hingga zaman Meiji. Pada masa ini, kepopulerannya sama sekali tidak menurun. Hanya saja, kabuki sering menjadi sasaran kritik kalangan intelektual karena dianggap kurang beradab.
Pemerintahan Meiji kemudian mendorong pembaruan untuk kabuki demi menyesuaikan dengan zaman. Lantas, lahirlah genre baru teater kabuki yang disebut shimpa.
Kebudayaan Jepang yang satu ini terus bertahan melintasi zaman. Dan, di tahun 1965, kabuki diakui oleh pemerintah Jepang sebagai warisan agung budaya nonbendawi. Keputusan itu berlanjut dengan pembangunan teater Nasional Jepang di Tokyo, khusus untuk pementasan kabuki.
Pemerintah juga menunjuk Dentō Kabuki Hōzonkai (Organisasi Pelestarian Kabuki Tradisional) sebagai pelestari Karya Agung Warisan Budaya Oral serta Nonbendawi Manusia Kabuki. Sebagai penjaga kebudayaan Jepang yang satu ini.

Kebudayaan Jepang - Istilah Bahasa Jepang yang Berasal dari Kabuki

Beberapa istilah dalam kebudayaan Jepang, kabuki, istilah dalam kabuki diserap ke dalam perbendaharaan bahasa Jepang. Berikut ini istilah bahasa Jepang yang diambil dari kebudayaan Jepang, kabuki.

1. Istilah Kebudayaan Jepang dari Kabuki - Sashigane

Di atas panggung, dalam pertunjukkan kebudayaan Jepang yang satu ini, jika ada adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut koken (asisten di panggung yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang. Di ujung tongkat panjang tersebut terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah sashigane digunakan dalam konotasi negatif, yaitu "orang yang mengendalikan".

2. Istilah Kebudayaan Jepang dari Kabuki - Kuromaku

Di atas panggung pertunjukan kabuki, saat salah satu jenis kebudayaan Jepang ini dimainkan, malam ditandai dengan tirai (maku) yang berwarna hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, ada istilah sekai no kuromaku. Dalam istilah itu, kata kuro (hitam) berubah makna menjadi “jahat”. Dalam bahasa Jepang, kuromaku berarti “dalang” seperti dalam arti dalang kejahatan”.

Kebudayaan Jepang - Musik Kabuki

Seni musik pengiring kebudayaan Jepang, kabuki terbagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut gidayubushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk gidayubushi khusus untuk kabuki.
Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi. Musik-musik itu berperan sebagai pemeriah dari pertunjukkan kebudayaan Jepang ini.

2 komentar:

{ Asti sie Secretflambojan } at: 27 Oktober 2013 pukul 21.46 mengatakan...

visit my site and enjoy information about the old earth here http://green.astidewanti.biz/ thanks :)

{ Unknown } at: 14 Maret 2015 pukul 08.13 mengatakan...

Dalam menelusuri berbagai artikel yang ada disini saya menemukan content yang menarik dan berguna bagi saya, blog ini ramai pengunjung seperti situs forum indonesia yang sudah ternama? salam sukses

Posting Komentar