Kabuki
merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang termasuk
jenis seni teater karena memiliki unsur cerita yang dipadukan dengan seni tari
dan musik. Dalam pertunjukan kabuki, seluruh peran dimainkan laki-laki,
termasuk peran perempuan. Para pemain mengenakan kostum mencolok dan sangat
mewah. Make-up-nya
terbilang dramatis untuk menonjolkan sifat dan karakter tokoh.
Kabuki
berasal dari kata kabusu,
kabuki, kabukan, atau kabuki, yang berarti aneh.
Seni drama
ini diperkenalkan oleh Okuni, seorang pendeta dari daerah Izumo.
Berbicara
tentang kebudayaan Jepang, ada banyak hal yang bisa
membuat kita semua kagum. Negara-negara di dunia memang diciptakan berbeda,
lengkap dengan kebudayaan yang juga berbeda. Jepang unik, begitupun dengan
negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Secara
garis besar, kebudayaan yang ada di banyak negara memiliki "payung"
yang sama. Seperti tarian, musik, pertunjukkan teater, cerita rakyat,
mitologi, pakaian khas dan hal-hal lain yang umum. Kebudayaan Jepang pun
demikian.
Di
antara sekian banyak produk kebudayaan Jepang, sajian menarik berupa
pertunjukkan teater menjadi salah satu andalan negara sakura
ini. Teater yang dimiliki oleh kebudayaan Jepang ini pada dasarnya hampir sama
dengan teater yang ada di Indonesia. Namun, penggunaan berbagai perlengkapan
separti kostum,
make up dan bahasa saja yang tentu saja berbeda.
Kebudayaan
Jepang - Sejarah Kabuki
Okuni
sebagai tokoh di balik kebudayaan Jepang yang satu ini merintis pertunjukan
kabuki pada 1603. Tidak ada sejarah yang jelas mengenai asal-usul Okuni. Yang
dikenal orang hanyalah bahwa Okuni memainkan drama aneh
pada masa itu, dengan pakaian mencolok dan iringan lagu populer.
Tidak
disangka, ternyata kabuki mendapat respons sangat baik. Kebudayaan Jepang
tersebut dengan cepat menjadi populer dan termasuk dalam kesenian avant garde Jepang masa
itu, sehingga memunculkan banyak peniru.
Sayangnya,
sejarah kabuki dinodai munculnya sekelompok wanita penghibur yang melakukan
praktik prostitusi melalui pertunjukan drama onna-kabuki (kabuki yang
dimainkan wanita) sehingga keshogunan Tokugawa melarang pementasan onna-kabuki pada 1629
karena dinilai melanggar moral. Kebudayaan Jepang ini pun sempat dilarang.
Pelarangan
terhadap kebudayaan Jepang yang satu ini berlanjut pada 1629 untuk yaro-kabuki (kabuki laki-laki)
yang rupanya menjadi selubung prostitusi di kalangan gigolo dan pria-pria muda.
Sebagai reaksi dari pelarangan tersebut, muncullah drama kabuki yang diperankan
laki-laki dewasa seluruhnya, dan menjadi konsep
drama kabuki yang dikenal sekarang.
Cerita
yang cukup miris ternyata menghiasi sejarah terciptanya kebudayaan Jepang yang
satu ini. Hingga akhirnya, seni teater khas Jepang ini bertahan hingga
saat ini.
Kebudayaan
Jepang - Jenis Kabuki
Di
awal perkembangannya, kebudayaan Jepang, kabuki memiliki dua
jenis pementasan; kabuki-odori
dan kabuki-geki. Yang
membedakan dua jenis kabuki ini adalah adanya unsur cerita dalam kabuki-geki, sedangkan kabuki-odori hanya
ditampilkan tarian dan nyanyian.
Keshogunan
Edo yang berkuasa saat itu mewajibkan kelompok drama kabuki meniru kyogen, kesenian
yang memanggungkan drama. Karena itu, kabuki-odori
pelan-pelan menghilang sedangkan kabuki-geki
semakin berkembang.
Kebijaksanaan
keshogunan Edo rupanya memiliki kaitan dengan upaya menekan
kecenderungan kabuki menjadi prostitusi terselubung. Saat itu, kabuki-odori adalah kabuki
yang populer dengan praktik kurang baik ini.
Kebijakan
tersebut merupakan upaya keshogunan untuk menjaga moral rakyat. Karena itu, kabuki-geki didorong untuk
menjadi kesenian yang memiliki kelas dan kehormatan. Salah satunya dengan
memasukkan unsur cerita klasik kepahlawanan yang kharismatik.
Kabuki semacam ini kemudian dikenal dengan sebutan kabuki-kyogen.
Kebudayaan
Jepang - Teknik Teater
Kebudayaan
Jepang, Kabuki, yang
semula hanya teater rakyat, dikembangkan menjadi kesenian yang berkelas dan
bergengsi. Bukan saja tema yang diangkat menjadi lebih kuat, juga fasilitasnya pun
diperbaiki. Hal ini karena pementasan lakon tidak memungkinkan menggunakan
teknik teater rakyat.
Panggung
standar pertunjukan kabuki dibangun bersamaan dengan berkembangnya kebudayaan
Jepang ini. Struktur cerita yang menghendaki pergeseran seting dan waktu,
dilakukan dengan teknik teater berupa pergeseran layar.
Gedung pertunjukan kabuki juga mulai dilengkapi dengan hanamichi, yakni sebuah
ruang khusus di sisi kiri kursi penonton, difungsikan sebagai tempat pemain masuk dan keluar
panggung.
Hanamichi
membuat kabuki
memiliki kedalaman lebih jika dibandingkan dengan sebelumnya. Hanamichi juga
merangsang munculnya kreasi teknik teater tiga dimensi. Teknik itu antara lain seri dan chuzuri.
Seri
adalah bagian
panggung fungsional yang bisa naik dan turun. Panggung ini memungkinkan
kemunculan aktor perlahan-lahar dari bagian bawah panggung. Sedangkan chuzuri adalah teknik
menggantung aktor dari bagian atas panggung untuk menampilkan adegan melayang
atau terbang. Perubahan demi perubahan pun
menjadi hal yang biasa dari kebudayaan Jepang yang satu ini.
Kebudayaan
Jepang - Cerita Kabuki
Rangka
penopang drama kabuki adalah cerita sejarah yang disebut jidaimono. Penulis drama kabuki dari daerah Kamigata menjadi
pionir dalam penulisan naskah drama ini. Mereka banyak mengadaptasi
cerita Ningyo Jōruri.
Hal
ini rupanya memicu kreativitas tersendiri bagi penulis kabuki asal Edo.
Beberapa penulis kabuki asal Edo tergerak mengkreasikan drama-drama baru.
Mereka ikut andil dalam menjaga kebudayaan Jepang tersebut, misalnya Tsuruya
Namboku, penulis kabui yang banyak mengkreasikan cerita kepahlawanan dari zaman Bunka hingga zaman
Bunsei. Begitu juga dengan Kawatake Mokuami yang populer di akhir zaman Edo
hingga memasuki zaman Meiji.
Beberapa
judul drama kabuki yang terkenal misalnya: Taiheiki no sekai, Heike monogatari no sekai, Sogamono no
sekai, dan Sumidagawamono
no sekai.
Kebudayaan
Jepang - Kabuki Melintasi Zaman
Kebudayaan
Jepang, Kabuki
lahir di zaman Edo, dan mampu bertahan hingga zaman Meiji. Pada masa ini, kepopulerannya sama
sekali tidak menurun. Hanya saja, kabuki sering menjadi sasaran kritik kalangan
intelektual karena dianggap kurang beradab.
Pemerintahan
Meiji kemudian mendorong pembaruan untuk kabuki demi menyesuaikan dengan zaman.
Lantas, lahirlah genre baru teater kabuki yang disebut shimpa.
Kebudayaan
Jepang yang satu ini terus bertahan melintasi zaman. Dan, di tahun 1965, kabuki
diakui oleh pemerintah Jepang sebagai warisan agung budaya
nonbendawi. Keputusan itu berlanjut dengan pembangunan teater Nasional Jepang
di Tokyo, khusus untuk pementasan kabuki.
Pemerintah
juga menunjuk Dentō Kabuki Hōzonkai (Organisasi Pelestarian Kabuki Tradisional) sebagai pelestari Karya Agung
Warisan Budaya Oral serta Nonbendawi Manusia Kabuki. Sebagai penjaga kebudayaan
Jepang yang satu ini.
Kebudayaan
Jepang - Istilah Bahasa Jepang yang Berasal dari Kabuki
Beberapa
istilah dalam kebudayaan
Jepang, kabuki, istilah dalam kabuki diserap ke dalam
perbendaharaan bahasa Jepang. Berikut ini istilah bahasa
Jepang yang diambil dari kebudayaan Jepang, kabuki.
1. Istilah Kebudayaan Jepang dari
Kabuki - Sashigane
Di
atas panggung, dalam pertunjukkan kebudayaan Jepang yang satu ini, jika ada
adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut koken (asisten di panggung
yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang. Di ujung tongkat
panjang tersebut terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang,
istilah sashigane
digunakan dalam konotasi negatif, yaitu "orang yang mengendalikan".
2. Istilah Kebudayaan Jepang dari Kabuki - Kuromaku
Di
atas panggung pertunjukan kabuki, saat salah satu jenis kebudayaan Jepang ini
dimainkan, malam ditandai dengan tirai (maku)
yang berwarna hitam (kuro).
Dalam bahasa Jepang, ada istilah sekai
no kuromaku. Dalam istilah
itu, kata kuro (hitam)
berubah makna menjadi “jahat”. Dalam bahasa Jepang, kuromaku berarti “dalang”
seperti dalam arti dalang kejahatan”.
Kebudayaan
Jepang - Musik Kabuki
Seni musik pengiring kebudayaan Jepang, kabuki
terbagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan
panggung dari arah penonton disebut gidayubushi.
Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk gidayubushi
khusus untuk kabuki.
Selain
itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik
yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.
Musik-musik itu berperan sebagai pemeriah dari pertunjukkan kebudayaan Jepang
ini.
2 komentar:
visit my site and enjoy information about the old earth here http://green.astidewanti.biz/ thanks :)
Dalam menelusuri berbagai artikel yang ada disini saya menemukan content yang menarik dan berguna bagi saya, blog ini ramai pengunjung seperti situs forum indonesia yang sudah ternama? salam sukses
Posting Komentar